Malam itu
Kamu menjemputku. Berbekal kata "boleh" dari Ibu, kita pergi. Aku diam sepanjang jalan. tidak seperti biasanya kamu seperti ini. Diam dan serius sedari tadi. Aku bingung,aku takut berbuat kesalahan. Karena aku bingung, sebenarnya kita bagaimana. Kita siapa.
Tiba-tiba kita menepi. Aku turun. Kamu meletakkan helmmu,seperti biasa di kaca spion kanan motormu tapi tidak dengan cara yg biasa. Bukan kamu,aku takut.
Aku bertanya,kamu bilang tidak apa-apa. Tanganmu dingin,membuatku semakin takut.
Kita memang menepi,di jalan sepi,malam ini.
Tatapanmu berbeda,lebih tajam daripada biasanya.
Tiba-tiba kita menyusuri malam lagi. Aku tidak paham apa arti menepi tadi. Kamu diam,berkata tak apa,tanganmu dingin. Sekarang kamu memintaku untuk berpegangan erat. Lagi,bukan kamu. Dan benar,selama aku duduk dibelakangmu ini bukan angka speedometer favoritmu. Lagi,bukan kamu.
Kita pergi. Hanya itu yang kutahu. Aku hanya menurut. Karena kamu sudah mempunyai kunci 'boleh' dari Ibuku. Tapi ini berbeda.
Kita menepi,lagi. Sepertinya ini destinasi yang sebenarnya.
Kurasa ini Gunung kecil. Tanpa nama mungkin?
Kamu berjalan di depan. Ya,posisi penjagaan yang selalu kusuka. Masih kamu.
Kita berjalan melewati kerumunan bapak-bapak. Aku menyapa ramah,kamu diam. Kamu siapa.
Kita berjalan melewati kerumunan mahasiswa yang sedang makrab. Aku menunduk takut. Kamu menatap mereka tajam. Kamu siapa.
Langkahku mulai lemah. Aku lelah. Kita berhenti sejenak. Aku menatapmu. Kamu menatap langit dan lampu perkotaan di bawah sana. Kamu kenapa. Aku diam. Kamu membatu. Kita kenapa.
Kita berjalan,lagi. Kini kita bergandengan. Tangan kananku,masih kamu. Tanganmu masih dingin,seperti tadi. Tak apa, tanganku akan membuatnya hangat kembali.
Diperjalanan ini aku hanya berani menatap punggumu dari belakang. Mengagumimu dalam diam.
Hanya kata 'semangat' dan 'ayo' yg keluar dari mulutmu. Aku bersyukur,tidak begitu bisu. Tapi mengapa begitu terburu-buru? Ada apa di atas sana? Apakah ada yg menanti kita?
Kita sampai. Puncak. Hanya ada satu tenda,gelap. Hanya kita di sini. Beratapkan langit berbintang dan kamu yg muram. Kenapa?
Kita berhadapan. Wajahmu serius. Ketika aku ingin mengusap pipimu dan bertanya "sebenarnya kamu kenapa?" kamu menangkisnya. Tahukah, aku sudah mengumpulkan keberanian untuk melakukannya dan seenak jidat kamu menangkisnya.
Tapi
Kemudian kamu memegang kedua tanganku erat-erat dan menatapku lekat-lekat. Wajahmu lebih serius. Aku takut.
"Sekarang bilang sayang sama aku!"
Kamu siapa. Nadamu begitu tinggi.
"Apa-apaan sih?!"
Memang sayang tapi aku enggan berkata.
"Bilang aja to!"
Kini semua emosimu benar-benar terlihat jelas dari semua nada,mimik,dan genggaman tangan.
"Kenapa to kamu tu?!"
Aku tak mau kalah. Tapi aku tak tahan melihatmu begini. Ketakutanku berada di titik tertinggi.
Dan seharusnya kamu mengerti bahwa aku paling benci orang yang kusayang marah,apalagi kamu.
Kamu diam dengan wajah yang tak dapat kubaca.
"Aku sayang kamu!!!"
Nada tinggi,cepat,menahan tangis,dan berusaha keras melepaskan genggamanmu. Puas? Aku sudah menghapus semua rasa gengsiku saat itu.
Senyum simpul favoritku terlukis sangat indah malam itu di wajahmu. Kamu kenapa.
"Maaf ya,aku cuma pengen tahu kamu bener-bener sayang apa engga sama aku"
Kamu melakukan hobimu,mengusap kepalaku
Kemudian berlutut
"Mau nggak jadi pacarku?"
Aku menangis,kamu memelukku. Kubenamkan seluruh wajahku di dadamu.
Jahanam.
Jadi semalaman ini kita sama-sama menahan emosi untuk momen ini?
Aku memakimu dalam pelukan itu. Kamu tertawa,mengerti bahwa jawabanku tak lagi penting karna kamu sudah tahu.
Malam itu.
Tenda,langit berbintang,api unggun,dan mie instan itu milik kita.
Aku sayang
Sayang sekali
Sayang hanya mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar